Translate

Kamis, 02 April 2009

ALUN-ALUN

Alun-alun (sebuah pertemuan yang singkat...?)
Oleh: Arief Yuri Wahyu Nugraha

Saat malam datang membuat kenangan itu hadir dalam setiap langkah kecilku menyusuri jalan setapak yang pernah kita lalui berdua.
Kini aku sadari memang semua harus berakhir sampai disini
Malam tetaplah malam semoga akan menjadi cerah saat meantari menyinari dunia pada pagi hari esok, karena malam tak selamanya malam

Tidak terasa haripun mulai gelap. Sang surya kembali ke peraduannya tidak terjaga dalam lamun mimpi-mimpi peluh, burung-burung mulai kembali kesarangnya setelah seharian bertualang mencari makan, suara jangkrik mulai bernyanyi menyambut malam, lampu-lampu kota sudah mulai menyala menerangi jalan sang laju kendaraan. Hardi memulai mengangkat gelas berisi kopi hitam pekat hangat sambil menikmati sebatang rokok yang selalu setia menemaninya dalam kesendirian, ia mencoba menerawang jauh ke depan terasnya yang selalu menjadi saksi hidup selama separuh kehidupannya baik suka maupun duka, sedih dan gembira, walaupun hanya sebatang pohon Palm yang selalu menemaninya teras itu sudah membuat hatinya selalu tenang disaat galau, lama-kelamaan rasa penat dan bosan seketika menyerang dalam dirinya, sambil lalu ia menghampiri motornya yang terparkir tak jauh dari tangannya, mesin dicoba dihidupkan namun tidak bisa mungkin karena seharian belum dipanasi, beberapa saat dicoba dan dicoba terus akhirnya hidup juga akan tetapi jarum spidometer bensin menunjukan huruf F yang artinya harus segera diisi, saat berangkat manuju kota mampirlah Hardi di POM bensin dipinggir kota, sesampainya di POM bensin ternyata habis karena belum dipasok dari Depo bensin, terpaksa Hardi beli eceran di pinggir jalan yang pastinya harganya lebih mahal, dalam hatinya berkata

“terpaksa dech… daripada gak sama sekali, kalau motorku mau dikasih air, jalan sich gak pa pa dan gak usah repot-repot harus antri beli bensin,..”.

“tapi ya sudahlah dasar nasib…nasib jadi rakyat kecil,...”

“.nurut aja sama pemerintah harga bensin naik ya monggo,...”

“harga sembako naik ya monggo...”

“lha wong cilik...mbuh sesok uangnya bagaimana caranya...ya dicari he he he....”.

Melajulah motorku berlarilah menembus malam melintasi jalanan yang sudah mulai ramai akan sepasang anak muda yang mengumbar akan cinta membara membakar libido muda mengalahkan dinginnya malam, diantara tiang-tiang beton yang kokoh dan diantara pohon-pohon munggur tua, Hardi mencoba meresapi arti hidup yang mulai hambar dalam baginya karena laju zaman yang semakin cepat namun tidak diimbangi dengan skill dan SDM yang mengimbangi.

Dari lampu merah satu ke lampu merah berikutnya, dari perempatan satu ke perempatan berikutnya Hardi menikmati suasana malam yang mulai unjuk gigi dengan dinginya sampai menusuk tulang. Gerutu dalam bibir tipis sambil bertanya sesekali dalam hati melihat pemandangan yang selalu tidak mau ia lewatkan dalam setiap melewati jalan Pemuda ini setiap ia akan menuju alun-alun.

Dilihatnya dengan rasa miris, “mungkin ini dapat mewakili gambarkan keaadan negara ini...”, kata dalam hatinya, sepintas dalam pandangannya tampak sesosok pria bertubuh gempal berbincang dengan aki-aki yang beruban cukup lebat diantara sela-sela topi yang sudah mulai kumal. Sangat jelas terlihat karena tersorot lampu kota. Sambil duduk di atas tong sampah yang sudah mulai lusuh oleh tumpukan sampah-sampah bau dan di kerumuni lalat-lalat kehidupan ini.

“Gambaran nyata bagaimana susahnya hidup, di kota kecil saja sudah susah apalagi harus hidup dikota besar seperti Jakarta. Apalagi tanpa mempunyai keahlian yang cukup, pastinya akan sangat berat....”

Ada pula seorang wanita setangah baya yang duduk dalam gelap malam, sambil menerawang jauh memikirkan kehidupan esok semakin bertambah mahal, harga minyak goreng semakin melambung jauh tinggi, apalagi untuk makan nasi semakin susah malah kini makan nasi adalah sebuah kemewahan yang sudah mulai langka padahal negara kita ini terkenal dengan negara agraris, negara yang hampir semua penduduknya adalah petani tapi ita mengimpor beras dari luar negeri dan kini rakyat negara ini makannya sudah diganti dengan nasi aking yang entah bagaimana rasa dan gizinya, dan mungkin akan segera diimpor juga dari luar negeri, apakah kita mau makan nasi basi sisanya orang luar negeri dengan sebuah kata “asalkan dapat mengenyangkan ruang kosong dalam tubuh yang sudah mulai renta. “Hah dasar dunia semakin edan”, gerutu Hardi dalam benaknya, “ yang kaya semain kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin “, slogan nenek moyang bangsa ini sudah lama hilang “gemah ripah loh jinawi” sudah termakan dengan peradaban dugem (dunia gemerlap) dan ekstasi dalam setiap jiwa anak muda bangsa ini.

Sambil lalu Hardi kembali melanjutkan perjalanan dengan menyimpan banyak pertanyaan yang rasanya ingin disampaikan kepada Bapak Presiden andaikan bisa dan di izinkan, Hardi akan berkata, “ tapi saya ini kan hanyalah orang kecil, bagaimana caranya saya bisa ketemu dengan Bapak Presiden yang budiman, lha pengawalannya saja seperti benteng takeshi, berlapis-lapis“.

Matanya masih tertuju melihat wanita yang duduk dalam gelap itu, namun apa yang dipikirkannya?, mungkin wanita itu masih memikirkan bagiamana caranya besok makan sedangkan uang dari suaminya telah habis untuk makan hari ini, wanita itu juga memikirkan uang sekolah anak-anaknya yang manunggak beberapa bulan.

Suaminya yang ia harapkan datang membawakan segepok uang tak jua datang dari pekerjaannya sebagai tukang becak, wanita itupun semakim gelisah dan khawatir jika suaminya malah datang dengan bau harum minuman keras dan uang yang selama ini ia inginkan malah habis dipakai untuk main judi namun ia segera tepis semua pikiran itu dan dapat menenangkan sejenak hatinya.

Ada juga sebuah keluarga yang berbincang sambil makan di sebuah warung sate kambing dipinggir jalan ke arah tengah kota, begitu asyiknya mereka berbincang sampai-sampai tak menghiraukan ada pengamen yng sudah menyanyi terlalu lama, sampai-sampai jontor bibirnya, hanya untuk sekadar menunggu uang receh untuk menyambung hidup. Keluarga ini setiap sore selalu terlihat makan di warung sate dipinggir jalan ini, kelihatannya keluarga yang cukup tajir, sampai-sampai makan saja harus jajan diluar rumah, “dasar orang kaya tidak tahu bagaimana cara menghabiskan uangnya, namun tidak memikirkan sekelilingnya masih banyak yang serba kekurangan” kata hati hardi mengusik lagi, mengiringi langkahnya dalam malam menyusuri jalan liku hiruk pikuknya malam yang kian larut. Udara dingin semakin menusuk tulang, bahkan sweter yang begitu tebal tak mampu membendung derasnya hawa dingin saat itu bagaikan udara gunung ini. Akhirnya sampailah di sebuah tempat di tengah kota yang begitu ramai akan pedagang-pedagang yang selalu setia menunggu pembeli, tempat yang ramai di tengah kota ini bernama alun-alun, begitulah orang menyebutnya dengan gampang, tempat dimana berkumpulnya orang yang selalu mencari suasana malam dikota ini, tempat yang sungguh sangat memberikan suasana eksotik.

Hardi menyandarkan sepeda motornya lalu menghampiri pedagang HIK (Hidangan Istimewa Kampung) kemudian memesan segelas minuman hangat untuk menghangatakan badan yang mulai beku oleh udara malam, sambil menghisap sebatang rokok yang entah sudah berapa batang yang di hisapnya malam ini semakin menambah nikmat suasana malam ditemani bintang-bintang yang berkelippan menambah samarak suasana dengan cahaya yang terang semakin indah menghiasi lukisan ILLAHI, subhanallah.

Malam yang mulai bertahta, terbias hati yang luka akan cinta terasa usang akan janji yang kian pudar oleh dusta, pesona akan wanita mulai luntur dalam hati sang pujangga malam yang berpetualang mencari asa lari terkejar mimpi perih melukai asmaradana tertulis syair kehidupan sang pujaan hati yang entah dimana sekarang berada. Kata-kata yang pas untuk menggambarkan apa yang dirasakan oleh Hardi begitu malam tiba. Dibalik semua keceriaan yang Hardi tampakkan bak cahaya bintang ternyata hanyalah topeng guna menutupi luka hatinya yang sekian lama terpendam dalam palung sanubari, malam ini Hardi hanya ingin mencari suasana berbeda dan melewatan malam guna menghibur luka yang menganga dalam hatinya. “Sudahlah…” gerutu dalam hatinya ,”memang nasibku harus begini, takdirku, jalan hidupku harus seperti ini mau diapakan lagi….”.

Suasana malam membuat Hardi yang begitu mempesona bagai Arjuna namun tanpa senjata andalannya, panah cinta, apalagi pada malam ini terasa begitu mamanjakan mata ketika cewek-cewek SPG dari toko swalayan terbesar dikota ini pulang kerja, mata elang mulai mencari mangsa sambil berharap akan mendapatkan kenalan, mata sang elang mulai berburu dengan tajam, namun sungguh tak satupun mangsa yang tertaut dalam hatinya, sungguh apes benar nasib Hardi pada malam itu ternyata semua SPG yang dilihatnya sudah dijemput oleh kekasihnya, ha ha ha dalam hatinya tertawa…. Ternyata semua berboncengan dengan sangat masranya, oh oh oh sungguh nelangsa diriku maklum malam ini bertepatan dengan malam mingguan, ya nasib…nasib… mungkin bukan waktunya kali ya ha ha ha. Sambil minum teh hangat dan diringi sesekali nafas panjang keluar dari rongga dadanya dengan asap yang mengepul pekat menyertai.

Dunia ini memang seperti daun kelor yang luasnya tidak seberapa, dimana kita berpijak disitulah kita dapat menemukan teman lama yang sudah sekian waktu tidak bertemu, saat hati sedang kacau oleh pikiran yang meracuni jiwa tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namanya, “ Hardi … hardi…hardi .. “, kata itu terdengar semakin dekat dan keras, sesosok perempuan manis nan ayu parasnya dengan langkah mantap mencoba manghampiri Hardi yang tengah menikmati indahnya suasana malam alun-alun, rupanya wanita yang memanggil dirinya adalah Kara, teman sewaktu sekolah SMA dahulu, wanita ini dulu sempat membuat hatinya berdegup kencang saat bertatapan mata, sekarang banyak berubah, “kamu sudah nampak semakin dewasa saja” seloroh Hardi sedikit memuji, Kara semakin memerah wajahnnya nampak tersipu-sipu malu mendengarnya, “ah… kamu bisa saja, dari mana kamu? Kok sendirian aja?” ….”eh… bagaimana kabarnya sekarang, kerja dimana? Balik bertanya”,… Tambah cantik saja sekarang, tanya Hardi sambil mengeluarkan jurus gombalnya he he he, “dasar buaya darat…”, batin Kara berkata, masih saja seperti yang dulu, belum berubah… ya ha ha ha …” …”baik… jawab Kara, aku bekerja di sebuah rumah sakit di jogja, sedangkan kamu?, Kara balik bertanya, “aku ya seperti ini Pengacara (Pengangguran Banyak Acara), ha ha ha seloroh Hardi mencairkan suasana yang tadinya terasa canggung menjadi terasa akrab, ya beginilah aku, masih seperti yang dulu. Bagaimana kabarnya si ganteng dulu waktu SMA itu, yang merebut dirimu dariku ha ha ha? “Siapa…?, Kara sambil mengingat-ingat ohhhhhh Wisnu, sekarang sudah jadi suamiku, tapi dia nan jauh di sana di negeri orang bekerja sebagai TKI… maklum sibuk banget ya begitulah he he he, “ngomong-ngomong mana istrimu?”…. “Istri, aku belum punya istri, siapa yang mau sama aku”… jawab Hardi,…“lha aku kan cuma pengangguran begini, melewatkan hari dengan katidakpastian”,…”hah sudahlah gak usah dibahas, yang lain saja”. Suasana hening sejenak mereka berdua menikmati pertemuan itu. Sambil mengingat masa lalu yang terasa indah mereka sambil melihat indahnya suasana malam di alun-alun yang diterangi lampu redup menambah suasana romantika pada malam yang mulai beranjak larut tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 dan sudah selayaknya kamu pulang, sindir Hardi kepada Kara daripada keluargamu khawatir mencarimu alangkah baiknya pulang!

“Baiklah sampai jumpa lagi sambil” ucap Kara sambil melambaikan tangan dan memaksa pertemuan harus segera berakhir dan akan menjadi sekelumit kisah yang wajib dicatat dalam buku harian Hardi dengan judul “sebuah pertemuan yang singkat”, ha ha ha kalimat yang terucap dalam hati Hardi sambil menikmati kembali secangkir teh yang mulai mendingin karena udara malam yang semakin dingin saja.

Menit berganti menjadi jam dan semakin larut saja, entah berapa batang rokok yang sudah dicabut dari tempatnya di hisap masuk dalam paru-paru Hardi. Bintang-bintang yang tadinya gemerlap menampakkan cahanya kini kian hilang tertutup mendung, ini akan menandakan akan segera turun hujan, anginpun semakin kencang berhembus menyerang tubuh yang sudah terasa mati rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar