Translate

Kamis, 19 Februari 2009

PENGACUAN PERSONA DALAM WACANA CELATHU BUTHET “MAMPIR NGGUYU” PADA HARIAN SUARA MERDEKA EDISI MINGGU LEGI 18 JANUARI 2009



oleh: Arief Yuri Wahyu Nugraha

Analisis wacana Celathu Buthet dari pengacuan personal, pengacuan persona termasuk dalam aspek gramatikal. Pengacuan/ referensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengacuan persona, demonstratif, dan komparatif. Dalam analisis ini peneliti hanya memfokoskan pada pengacuan persona saja. Berikut analisisnya:

1) “Lho bukan begitu, selama ini saya hanya merasa sebagai suami. Pejantannya bini. Sekadar seoarang ayah. Tapi bukan orang tua. Kalau sebentar lagi punya mantu, nah ini saatnya jadi orang tua. Sampun sepuh...”. Ujar Mas Celathu yang pinginnya dianggap muda terus.

2) Tahun ini sulungnya Mas Celathu yang dijuluki Mas Ndut akan mengakhiri masa lajangnya. Biasanya, tak lama kemudian pengantin baru itu akan punya momongan. Lalu Mas Celathu akan menyandang status baru: simbah, eyang, kakek, aki, atau engkong.

Pada tuturan (1) terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas saya mengacu pada unsur lain yang berada didalam teks yang disebutkan kemudian, yaitu Mas Celathu (orang yang bertutur) saya merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora (karena acuannya berada di dalam teks), bersifat kataforis (karena acuannya disebutkan kemudian). Sedangkan –nya (sulungnya) mengacu pada Mas Celathu yang disebutkan kemudian atau antisedennya berada di kanan, -nya pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Dengan ciri-ciri semacam itu maka –nya adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang kataforis melalui pronomina persona III tunggal. Pada tuturan yang sama –nya (lajangnya) mengacu pada Mas Ndut yang disebutkan sebelumnya atau antisedennya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona III tunggal bentuk terikat lekat kanan. Dengan ciri-ciri semacam itu maka –nya adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina persona III tunggal.

3) Mas Celathu merasa jengah, tidak terasa jika dirinya segera memasuki babakan baru hidupnya. “weleh-weleh, ... masih kinyis-kinyis begini kok aku dipanggil simbah. Apa ya pantes? Lihat aja, garis wajahku masih oke. Belum banyak kerutannya. Masih nggantheng je”, seloroh Mas Celathu mengumbar narsisnya.

Pada tuturan (3) aku mengacu pada Mas Celahtu yang disebutkan kemudian atau satuan lingualnya berada di kanan melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Dengan ciri-ciri semacam itu, maka aku adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang kataforis melalui pronomina persona I tunggal. Sedangkan –ku (wajahku) pada tuturan yang sama mengacu pada Mas Celathu yang disebutkan kemudian atau antisedennya berada di kanan melalui satuan lingual berupa pronomina persona I terikat kanan. Dengn ciri-ciri semacam itu maka –ku (wajahku) adalah jenis kohei gramatikal pengacuan endofora yang kataforis melalui pronomina persona I tunggal.

4) “Lihat tuh ubannya tambah banyak. Mbok ya insyaf, menyadari kalau sudah tua. Mau punya mantu kok gak mau berubah. Harus lebih bijaksana, lebih waskita. Lagian tenaga dan stamina kan juga sudah susut banget. Tidak kayak dulu lagi.” Mbakyu Celathu meningatkan. Bukannya meng-iya-kan, Mas Celathu yang selalu ge-er sebagai “pejantan tangguh” langsung ngeyel, “Eit, nanti dulu. Biar pun bakal punya mantu, jangan remehkan tenaga dan staminaku. Kalaupun aku jadi simbah. Aku tetap lelaki perkasa.”

Pada tuturan (4) –nya (ubannya) mengacu pada Mas Celathu yang disebutkan kemudian atau antisedennya berada di kanan. Satuan lingual –nya ­merupakan pronomina persona III tunggal lekat kanan. Dengan ciri semacam itu maka –nya adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang kataforis melalui pronmina persona III tunggal. Pada tuturan yang sama –ku (staminaku) mengacu pada Mas Celathu yang disebutkan sebelumnya atau antisedennya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk terikat lekat kanan. Dengan ciri-ciri semacam itu maka –ku adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina persona I tunggal. Aku dalam “kalaupun aku jadi simbah" pada tuturan yang sama mengacu pada Mas Celathu yang disebutkan sebelumnya atau satuan lingualnya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Dengan ciri semacam itu maka aku adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina persona I tunggal.

5) “Mbelgedhes. Lha wong udah kena diabetes kok masih mbagusi. Sampeyan itu mbok ya nyebut. Toh saya juga nggak nuntut macem-macem. Rileks aja kenapa?”

Kata sampeyan merupakan bahasa jawa yang artinya anda/ kamu. Anda/ kamu mengacu pada Mas Celathu pada tuturan yang disebutkan sebelumnya/ terdahulu atau antisedennya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona II tunggal bentuk bebas. Dengan ciri semacam itu maka sampeyan (anda/ kamu) adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina personal II tunggal. Pada tuturan yang sama, saya mengacau pada Mbakyu Celathu yang disebutkan sebelumnya/ terdahulu atau antisedennya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona I tunggal bentuk bebas. Dengan semacam itu maka saya adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina persona I tunggal.

6) Tapi justru jadi kelakar menggembirakan. Dunia mereka barangkali memang dunia yang sengaja dikreasikan untuk senantiasa berjenaka-ria.

Mereka mengacu pada keluarga Mas Celathu dan Mbakyu Celathu pada tuturan yang disebutkan sebelumnya atau antisedennya berada di kiri melalui satuan lingual berupa pronomina persona III jamak bentuk bebas. Dengan ciri semacam itu, maka mereka adalah jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora yang anaforis melalui pronomina persona III jamak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar