PENDAHULUAN
Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) sistem diartikan sebagai seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk sebuah totalitas. Sementara pengertian sastra sendiri oleh Luxemburg didefinisikan sebagai ciptaan/sebuah kreasi yang merupakan luapan emosi dan bersifat otonom. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dimaksud system sastra adalah segala elemen sastra yang secara bersama-sama saling mengisi dan membentuk sebuah keterpaduan.
Sistem sastra meliputi jenis sastra, cabang ilmu, bentuk sastra, teks dan komunikasi ilmu sastra, ilmu teks, genre sastra, dan unsur-unsur yang membentuk karya sastra baik dari dalam maupun yang dari luar. Untuk mempermudah pemahaman dalam makalah ini, sengaja sistem sastra hanya dibedakan menjadi empat bagian saja. Keempat sistem tersebut adalah (1) cabang ilmu sastra, (2) bentuk sastra, (3) jenis sastra, dan (4) unsur sastra.
Cabang ilmu sastra dapat dibagi lagi menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ketiga cabang ilmu ini saling berkaitan erat sebagai perkembangan dan telaah sastra. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling berkaitan.
Bentuk sastra dalam makalah ini dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang biasanya dituturkan dari mulut ke mulut. Biasanya sastra yang bersifat lisan ini adalah anonim. Artinya, sastra tersebut tidak ada hak milik. Setiap orang bebas menceritakan secara runtutan kronologis maupun menambahi, bahkan mengurangi. Sastra tulis seperti yang kita ketahui sekarang ini telah berkembang menjadi berbagai jenis.
PEMBAHASAN
Secara metode penyampaian sastra Indonesia terbagi atas 2 bagian besar, yaitu:
Lisan
Bahasa lisan dalam karya sastra merupakan sastra yang mengembangkan ritualitas dalam komunitas itu tersendiri. Untuk itu dalam filosofinya bahwa karya sastra yang dibangun dalam tradisi lisan komunitas menggambaran suatu kekhususan dalam berkarya sastra. Adapun dalam kategorisasi bahasa adalah untuk memberikan sistematika bahasa dalam kontekstualnya adalah (morfologi, fonlogi, semantic, dan sintaksis) semakin berkembang dan majunya dunia dalam ilmu dan teknologi maka semakin maju pula peradaban yang di bentuk dalam berkarya. Baik itu karya sastra lisan dan tulisan maupun dalam berbahasa. Jadi ada kesinambungan antara bahasa dan sastra dalam berkarya.
Tulisan
Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat tulis seperti pena atau pensil.
Sejarah sastra Indonesia
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20an. Pada masa ini karya sastra di Indonesia didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Karya sastra Pujangga Lama antara lain: Hikayat Abdullah, Hikayat Kalila dan Damina.
Sastra “Melayu Lama”
Karya sastra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 ini berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah Sumatra lainnya,” Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya-karyanya antara lain: Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan, Nyai Dasima oleh G. Francis.
Angkatan Balai Pustaka
Jenis sastra sangat bermacam-macam. Dalam makalah ini hanya dibatasi dua, yaitu prosa dan puisi. Hal ini hanya untuk mempermudah penjabaran semata. Sementara menurut KBBI bagian sastra dapat mencangkup prosa, puisi, drama, epik, dan syair.
Unsur sastra meliputi dua aspek, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun perincian unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam. Begitu pula unsur ekstrinsik yang membangun karya sastra dari luar. Kedua unsur ini selalu ada di dalam sebuah karya sastra. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur ini pula yang biasanya digunakan untuk menelaah sastra. Unsur-unsur ini pula yang sering menjadi bahan pengajaran di sekolah-sekolah, bahkan untuk soal di Ujian Akhir Nasional (UAN).
Unsur intrinsik dapat berupa tema, alur, tokoh, sudut pandang, latar, dsb. Unsur intrinsik ini membangun satu kesatuan sebuah sastra, khususnya prosa. Unsur-unsur tersebut dapat dianalisis baik secara tersirat maupun tersurat tanpa harus melibatkan pihak pengarang.
Unsur yang untuk mengetahuinya harus melakukan observasi perbandingan dan mempelajari riwayat hidup penulis inilah yang tergolong dalam unsur ekstinsik. Artinya, kalau kita mau menilai sebuah karya sastra, kita juga harus mempertimbangkan konteks penulis atas karya yang dibuatnya. Apa latar belakangnya, bagaimana kehidupan sosialnya, bagaimana lokalitasnya, dsb.
Kedua unsur inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Unsur inipun dibatasi hanya pada unsur intrinsik yang meliputi bahasa dan gaya penceritaan beserta subunsur yang menyertainya. Hal ini disebabkan unsur dan subunsur sastra itu saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, unsur intrinsik salah satunya. Unsur-unsur inilah yang perlu dikuasai agar seorang penulis tidak hanya pandai berimajinasi saja, melainkan juga menyusun kronologis cerita yang menarik secara teknis.
Secara umum, makalah ini akan membahas bagaimana konotasi bahasa itu berperan dalam sastra dan bagaimana aliran sastra itu menjadi bagian penting untuk diketahui dalam menulis karya sastra. Oleh karena itu, makalah ini mengambil judul “Menghasilkan Sastra Berkualitas: Kajian bahasa dan gaya penceritaam sebagai unsur Intrinsik”.
Konotasi Bahasa
Apabila kita menyinggung mengenai konotasi bahasa, berarti kita masuk ke dalam dua pokok bahasan. Pertama adalah majas atau gaya bahasa dan yang kedua adalah makna. Makna di sini dapat berarti perluasan, penyempitan, peyorasi, ameliorasi, konotasi, denotasi, atau sinestesia. Kita tidak akan membahas banyak hal tentang istilah-istilah tersebut, melainakan hanya akan mencuplik beberapa bagian dari contoh-contoh yang sudah ada.
Ketika kita menulis sebuah prosa atau puisi, secara tidak sadar, kita telah mempelajari berbagai macam gaya bahasa. Gaya bahasa atau sering disingkat majas sebenarnya hanya terdiri dari empat. Keempat majas tersebut adalah majas perbandingan, majas sindirian, majas penegasan, dan majas pertentangan.
Dalam menulis sastra, seorang penulis harus menguasai dan memahami penggunaan majas yang tepat. Menguasai dan memahami dalam hal ini tidak harus menghafalkannya. Hal ini dapat berarti bahwa seorang penulis yang hafal gaya bahasa belum tentu dapat menerapkannya dalam tulisan.
Menguasai dan memahami gaya bahasa, ada baiknya penulis juga mengembangkan gaya bahasa dari yang sudah ada. Hal ini berarti kita harus melakukan eksplorasi kepada gaya bahasa yang sudah ada. Eksplorasi ini dilakukan agar seorang penulis tidak terjebak pada ke-klise-an penggunaan gaya bahasa.
Ambilah contoh gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati , sehingga seolah-olah memiliki sifat seperti manusia atau benda hidup (Rustamaji, 2005: 105). Gaya bahasa personifikasi merupakan salah satu majas perbandingan yang sering sekali digunakan dalam berbagai tulisan sastra. Memang belum ada survai atau penelitian tentang kuantitas pemakaian majas terbanyak dalam karya sastra, tetapi secara sepintas kita dapat melihat betapa seringnya gaya bahasa personifikasi diaplikasikan ke dalam berbagai karya.
Berikut adalah contoh penggunaan personifikasi
Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah di antara kedua kakiku.
Frase ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah adalah salah satu penggunaan majas personifikasi. Entah sudah berapa puluh personifikasi yang sama untuk ombak. Ombak selalu diperrsonifikasikan bergulung-gulung atau berlari. Seorang penulis harus berani melakukan eksplorasi dan eksperimen terhadap alat yang dimilikinya, yaitu gaya bahasa.
Frase yang menyatakan personifikasi tersebut dapat diubah menjadi majas asosiasi. Adapun pengertian asosiasi adalah membandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat. Lantas, paragraf di atas dapat disulap mejadi seperti berikut.
Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang terlipat seperti ibu menyisir permukaan keju dengan sendok.
Aliran Sastra
Beberapa aliran dalam puisi
a) Puisi Absurd
pot apa pot itu kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot potkaukah kau itu
yang jawab pot pot pot potkaukah pot aku
potapa potitu potkaukah potaku
pot
“pot” karya Sutardji Calzoum Bachri
b) Puisi Sufi
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apiMu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainMu
“Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M.
c) Puisi Mbeling
Puisi mbeling muncul pada tahun 1970-an. Kata tersebut digunakan oleh Remy Silado. Puisi ini biasanya menekankan kepada kejenakaan. Sekalipun demikian, puisi tersebut terkadang memberikan makan kepada pembacanya.
Beberapa aliran prosa
Seperti halnya dalam seni lukis, seni sastra pun memiliki aliran yang kurang lebih sama, yaitu impresionisme, realisme, naturalisme, romantik, simboloik, dan sebagainya. Seorang pengarang tidak perlu terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Hal ini dikarenakan istilah-istilah tersebut masih diperdebatkan. Namun, sebagai dasar dari pengetahuan, tentang bentuk aliran kesusastraan, maka di bawah ini diberikan beberapa perumusan yang lazim dipakai. Disebutkan juga oleh Mochtar Lubis (1997) bahwa sebutan seperti romantik, realisme, impresionisme terkadang dapat dikaburkan batasan-batasannya seperti romantis-realistis, simbolis-naturalis, dan sebagainya.
Impressionisme
Dalam berbagai cabang kesenian, impressionisme diartikan dalam garis besar sebagai pemberi kesan – kesan panca indera. Mochtar Lubis (1997) merumuskan impressionisme sebagai penjelmaan pikiran, perasaan, dan bentuk-bentuk secara sindirian. Misalnya sebuah cerita pendek (cerpen) yang menulis dengan gaya ini, bisalah disebutkan bahwa cerpen tersebut tidak dengan langsung menjelaskan sepenuhnya isi dan maksud cerita ini, tetapi dari totalitas cerita tersebut orang dapat mengambil kesimpulan apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Karangan tersebut dapat berupa kalimat-kalimat yang di dalamnya tidak selesai, dialognya putus-putus, namun secara totalitas, karangan tersebut menunjukkan gambaran yang penuh.
Romantik
Ketika kita menyebutkan kata romantik, tentu apa yang sedang terlintas adalah terang bulan, bunyi angina mengelus dedaunan, ombak pecah di karang, cerita gadis dan jejaka yang berakhir bahagia, dan sebagainya. Memang betul juga, Mochtar (1997) pun mengakuinya. Beliau menyebutkan bahwa aliran romatik adalah cara pengarang yang mewujudkan penghidupan dan pengalaman manusia, lantas meletakkan tekanan yang berat terhadap apa yang lebih baik dan lebih indah.
Realisme
Realisme adalah apa yang dilihat oleh pengarang, di luar itu tidak termasuk realis. Artinya, penulis hanya menunjukkan manifestasi jasmani (materil) dan yang kelihatan dari luar kehidupannya. Boleh dikatakan bahwa penulis hanya melihat simptom, bukan sebab musabab kehidupan.
Dalam realisme, manusia dilukiskan sebagai makhluk yang dikuasai oleh alam kebendaan di sekelilingnya dan memberi reaksi-reaksi terhadap alam kebendaan. Bertolak dari ini, dapat disimpulkan bahwa realisme tidak mempedulikan kenyataan-kenyataan alam penghidupan manusia lain.
Naturalisme
Batas antara realisme dan naturalisme ini sangat kabur. Sama halnya dengan naturalisme pengarang melukiskan dengan cermat apa yang dilihat, dirasa oleh panca indera. Naturalisme meletakkan manusia sebagai makhluk alam, dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan manusia.
Dalam KBBI (1989: 610) disebutkan bahwa naturalisme adalah karya seni rupa yang memiliki sifat kebenaran fisik dari alam. Disebutkan juga bahwa naturalisme adalah ajaran yang tidak mengakui kekuatan lain selain alam, apa adanya.
Ekspressionisme
Dalam hubungannya ralisme dan naturalisme ini, disebutkan juga istilah ekspressionisme. Karangan ekspressionisme semua apa yang menjadi tekanan batinnya menyembur dari dalam jiwa pengarang sendiri. Di dalam ekspressionisme, alam benda dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi kejiwaan-kejiwaan.
Simbolisme
Aliran ini banyak dipakai pada angaktan kesuastraan Jepang. Hal ini dikarenakan pada saat itu, segala bentuk perjuangan (melalui sastra) tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, para pengarang mencoba berjuang dengan menggunakan simbol-simbol.
Sebuah karangan yang menggunakan simbol, acapkali simbol tersebut diulang-ulang. Disebutkan pengarang, lantas di dorongkan ke tengah-tengah perhatian pembaca. Namun, bisa juga simbol itu sesuatu yang dikandung di dalam keselauruhan cerita.
KESIMPULAN
Secara umum, sistem sastra dapat diterjemahkan menjadi segala unsur yang bertalian dengan sastra dan menunjang satu sama lain untuk keutuhan sastra itu sendiri. Adanya kesinambungan antara bahasa dan sastra dalam berkarya. Untuk menghasilkan sastra yang berkualitas didalam perkembangan sejarah sastra di Indonesia khususnya dan dunia sastra pada umumnya, disimpulkan bahwa seorang penulis tidak perlu mempelajari “teori sastra” terlebih dahulu sebelum dirinya memiliki produk sastra. Kebalikannya, pengarang yang sudah menghasilkan karya, lambat laun, dirinya akan menguasai apakah “ilmu sastra” itu. Lantas, pengarang tersebut akan mengidentifikasikan karya-karyanya dengan teori yang ada. Dari sinilah, tanpa sengaja, pengarang tersebut dapat belajar tentang “teori sastra” dan secara perlahan akan menguasai “bagaimana sistem sastra secara keseluruhan itu”.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya (hal.87-92). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Joko Rachmat. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2000. Buku Praktis Bahasa Indonesia: 2. Jakarta: Pusat Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) sistem diartikan sebagai seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk sebuah totalitas. Sementara pengertian sastra sendiri oleh Luxemburg didefinisikan sebagai ciptaan/sebuah kreasi yang merupakan luapan emosi dan bersifat otonom. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dimaksud system sastra adalah segala elemen sastra yang secara bersama-sama saling mengisi dan membentuk sebuah keterpaduan.
Sistem sastra meliputi jenis sastra, cabang ilmu, bentuk sastra, teks dan komunikasi ilmu sastra, ilmu teks, genre sastra, dan unsur-unsur yang membentuk karya sastra baik dari dalam maupun yang dari luar. Untuk mempermudah pemahaman dalam makalah ini, sengaja sistem sastra hanya dibedakan menjadi empat bagian saja. Keempat sistem tersebut adalah (1) cabang ilmu sastra, (2) bentuk sastra, (3) jenis sastra, dan (4) unsur sastra.
Cabang ilmu sastra dapat dibagi lagi menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ketiga cabang ilmu ini saling berkaitan erat sebagai perkembangan dan telaah sastra. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling berkaitan.
Bentuk sastra dalam makalah ini dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang biasanya dituturkan dari mulut ke mulut. Biasanya sastra yang bersifat lisan ini adalah anonim. Artinya, sastra tersebut tidak ada hak milik. Setiap orang bebas menceritakan secara runtutan kronologis maupun menambahi, bahkan mengurangi. Sastra tulis seperti yang kita ketahui sekarang ini telah berkembang menjadi berbagai jenis.
PEMBAHASAN
Secara metode penyampaian sastra Indonesia terbagi atas 2 bagian besar, yaitu:
Lisan
Bahasa lisan dalam karya sastra merupakan sastra yang mengembangkan ritualitas dalam komunitas itu tersendiri. Untuk itu dalam filosofinya bahwa karya sastra yang dibangun dalam tradisi lisan komunitas menggambaran suatu kekhususan dalam berkarya sastra. Adapun dalam kategorisasi bahasa adalah untuk memberikan sistematika bahasa dalam kontekstualnya adalah (morfologi, fonlogi, semantic, dan sintaksis) semakin berkembang dan majunya dunia dalam ilmu dan teknologi maka semakin maju pula peradaban yang di bentuk dalam berkarya. Baik itu karya sastra lisan dan tulisan maupun dalam berbahasa. Jadi ada kesinambungan antara bahasa dan sastra dalam berkarya.
Tulisan
Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat tulis seperti pena atau pensil.
Sejarah sastra Indonesia
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
- Pujangga lama
- Sastra “Melayu Lama”
- Angkatan Balai Pustaka
- Pujangga Baru
- Angkatan ’45
- Angkatan 50an
- Angkatan 66-7-an
- Dasawarsa 80-an
- Angkatan Reformasi
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20an. Pada masa ini karya sastra di Indonesia didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Karya sastra Pujangga Lama antara lain: Hikayat Abdullah, Hikayat Kalila dan Damina.
Sastra “Melayu Lama”
Karya sastra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 ini berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah Sumatra lainnya,” Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya-karyanya antara lain: Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan, Nyai Dasima oleh G. Francis.
Angkatan Balai Pustaka
Jenis sastra sangat bermacam-macam. Dalam makalah ini hanya dibatasi dua, yaitu prosa dan puisi. Hal ini hanya untuk mempermudah penjabaran semata. Sementara menurut KBBI bagian sastra dapat mencangkup prosa, puisi, drama, epik, dan syair.
Unsur sastra meliputi dua aspek, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun perincian unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam. Begitu pula unsur ekstrinsik yang membangun karya sastra dari luar. Kedua unsur ini selalu ada di dalam sebuah karya sastra. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur ini pula yang biasanya digunakan untuk menelaah sastra. Unsur-unsur ini pula yang sering menjadi bahan pengajaran di sekolah-sekolah, bahkan untuk soal di Ujian Akhir Nasional (UAN).
Unsur intrinsik dapat berupa tema, alur, tokoh, sudut pandang, latar, dsb. Unsur intrinsik ini membangun satu kesatuan sebuah sastra, khususnya prosa. Unsur-unsur tersebut dapat dianalisis baik secara tersirat maupun tersurat tanpa harus melibatkan pihak pengarang.
Unsur yang untuk mengetahuinya harus melakukan observasi perbandingan dan mempelajari riwayat hidup penulis inilah yang tergolong dalam unsur ekstinsik. Artinya, kalau kita mau menilai sebuah karya sastra, kita juga harus mempertimbangkan konteks penulis atas karya yang dibuatnya. Apa latar belakangnya, bagaimana kehidupan sosialnya, bagaimana lokalitasnya, dsb.
Kedua unsur inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Unsur inipun dibatasi hanya pada unsur intrinsik yang meliputi bahasa dan gaya penceritaan beserta subunsur yang menyertainya. Hal ini disebabkan unsur dan subunsur sastra itu saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, unsur intrinsik salah satunya. Unsur-unsur inilah yang perlu dikuasai agar seorang penulis tidak hanya pandai berimajinasi saja, melainkan juga menyusun kronologis cerita yang menarik secara teknis.
Secara umum, makalah ini akan membahas bagaimana konotasi bahasa itu berperan dalam sastra dan bagaimana aliran sastra itu menjadi bagian penting untuk diketahui dalam menulis karya sastra. Oleh karena itu, makalah ini mengambil judul “Menghasilkan Sastra Berkualitas: Kajian bahasa dan gaya penceritaam sebagai unsur Intrinsik”.
Konotasi Bahasa
Apabila kita menyinggung mengenai konotasi bahasa, berarti kita masuk ke dalam dua pokok bahasan. Pertama adalah majas atau gaya bahasa dan yang kedua adalah makna. Makna di sini dapat berarti perluasan, penyempitan, peyorasi, ameliorasi, konotasi, denotasi, atau sinestesia. Kita tidak akan membahas banyak hal tentang istilah-istilah tersebut, melainakan hanya akan mencuplik beberapa bagian dari contoh-contoh yang sudah ada.
Ketika kita menulis sebuah prosa atau puisi, secara tidak sadar, kita telah mempelajari berbagai macam gaya bahasa. Gaya bahasa atau sering disingkat majas sebenarnya hanya terdiri dari empat. Keempat majas tersebut adalah majas perbandingan, majas sindirian, majas penegasan, dan majas pertentangan.
Dalam menulis sastra, seorang penulis harus menguasai dan memahami penggunaan majas yang tepat. Menguasai dan memahami dalam hal ini tidak harus menghafalkannya. Hal ini dapat berarti bahwa seorang penulis yang hafal gaya bahasa belum tentu dapat menerapkannya dalam tulisan.
Menguasai dan memahami gaya bahasa, ada baiknya penulis juga mengembangkan gaya bahasa dari yang sudah ada. Hal ini berarti kita harus melakukan eksplorasi kepada gaya bahasa yang sudah ada. Eksplorasi ini dilakukan agar seorang penulis tidak terjebak pada ke-klise-an penggunaan gaya bahasa.
Ambilah contoh gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati , sehingga seolah-olah memiliki sifat seperti manusia atau benda hidup (Rustamaji, 2005: 105). Gaya bahasa personifikasi merupakan salah satu majas perbandingan yang sering sekali digunakan dalam berbagai tulisan sastra. Memang belum ada survai atau penelitian tentang kuantitas pemakaian majas terbanyak dalam karya sastra, tetapi secara sepintas kita dapat melihat betapa seringnya gaya bahasa personifikasi diaplikasikan ke dalam berbagai karya.
Berikut adalah contoh penggunaan personifikasi
Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah di antara kedua kakiku.
Frase ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah adalah salah satu penggunaan majas personifikasi. Entah sudah berapa puluh personifikasi yang sama untuk ombak. Ombak selalu diperrsonifikasikan bergulung-gulung atau berlari. Seorang penulis harus berani melakukan eksplorasi dan eksperimen terhadap alat yang dimilikinya, yaitu gaya bahasa.
Frase yang menyatakan personifikasi tersebut dapat diubah menjadi majas asosiasi. Adapun pengertian asosiasi adalah membandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat. Lantas, paragraf di atas dapat disulap mejadi seperti berikut.
Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang terlipat seperti ibu menyisir permukaan keju dengan sendok.
Aliran Sastra
Beberapa aliran dalam puisi
a) Puisi Absurd
pot apa pot itu kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot potkaukah kau itu
yang jawab pot pot pot potkaukah pot aku
potapa potitu potkaukah potaku
pot
“pot” karya Sutardji Calzoum Bachri
b) Puisi Sufi
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apiMu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainMu
“Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M.
c) Puisi Mbeling
Puisi mbeling muncul pada tahun 1970-an. Kata tersebut digunakan oleh Remy Silado. Puisi ini biasanya menekankan kepada kejenakaan. Sekalipun demikian, puisi tersebut terkadang memberikan makan kepada pembacanya.
Beberapa aliran prosa
Seperti halnya dalam seni lukis, seni sastra pun memiliki aliran yang kurang lebih sama, yaitu impresionisme, realisme, naturalisme, romantik, simboloik, dan sebagainya. Seorang pengarang tidak perlu terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Hal ini dikarenakan istilah-istilah tersebut masih diperdebatkan. Namun, sebagai dasar dari pengetahuan, tentang bentuk aliran kesusastraan, maka di bawah ini diberikan beberapa perumusan yang lazim dipakai. Disebutkan juga oleh Mochtar Lubis (1997) bahwa sebutan seperti romantik, realisme, impresionisme terkadang dapat dikaburkan batasan-batasannya seperti romantis-realistis, simbolis-naturalis, dan sebagainya.
Impressionisme
Dalam berbagai cabang kesenian, impressionisme diartikan dalam garis besar sebagai pemberi kesan – kesan panca indera. Mochtar Lubis (1997) merumuskan impressionisme sebagai penjelmaan pikiran, perasaan, dan bentuk-bentuk secara sindirian. Misalnya sebuah cerita pendek (cerpen) yang menulis dengan gaya ini, bisalah disebutkan bahwa cerpen tersebut tidak dengan langsung menjelaskan sepenuhnya isi dan maksud cerita ini, tetapi dari totalitas cerita tersebut orang dapat mengambil kesimpulan apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Karangan tersebut dapat berupa kalimat-kalimat yang di dalamnya tidak selesai, dialognya putus-putus, namun secara totalitas, karangan tersebut menunjukkan gambaran yang penuh.
Romantik
Ketika kita menyebutkan kata romantik, tentu apa yang sedang terlintas adalah terang bulan, bunyi angina mengelus dedaunan, ombak pecah di karang, cerita gadis dan jejaka yang berakhir bahagia, dan sebagainya. Memang betul juga, Mochtar (1997) pun mengakuinya. Beliau menyebutkan bahwa aliran romatik adalah cara pengarang yang mewujudkan penghidupan dan pengalaman manusia, lantas meletakkan tekanan yang berat terhadap apa yang lebih baik dan lebih indah.
Realisme
Realisme adalah apa yang dilihat oleh pengarang, di luar itu tidak termasuk realis. Artinya, penulis hanya menunjukkan manifestasi jasmani (materil) dan yang kelihatan dari luar kehidupannya. Boleh dikatakan bahwa penulis hanya melihat simptom, bukan sebab musabab kehidupan.
Dalam realisme, manusia dilukiskan sebagai makhluk yang dikuasai oleh alam kebendaan di sekelilingnya dan memberi reaksi-reaksi terhadap alam kebendaan. Bertolak dari ini, dapat disimpulkan bahwa realisme tidak mempedulikan kenyataan-kenyataan alam penghidupan manusia lain.
Naturalisme
Batas antara realisme dan naturalisme ini sangat kabur. Sama halnya dengan naturalisme pengarang melukiskan dengan cermat apa yang dilihat, dirasa oleh panca indera. Naturalisme meletakkan manusia sebagai makhluk alam, dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan manusia.
Dalam KBBI (1989: 610) disebutkan bahwa naturalisme adalah karya seni rupa yang memiliki sifat kebenaran fisik dari alam. Disebutkan juga bahwa naturalisme adalah ajaran yang tidak mengakui kekuatan lain selain alam, apa adanya.
Ekspressionisme
Dalam hubungannya ralisme dan naturalisme ini, disebutkan juga istilah ekspressionisme. Karangan ekspressionisme semua apa yang menjadi tekanan batinnya menyembur dari dalam jiwa pengarang sendiri. Di dalam ekspressionisme, alam benda dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi kejiwaan-kejiwaan.
Simbolisme
Aliran ini banyak dipakai pada angaktan kesuastraan Jepang. Hal ini dikarenakan pada saat itu, segala bentuk perjuangan (melalui sastra) tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, para pengarang mencoba berjuang dengan menggunakan simbol-simbol.
Sebuah karangan yang menggunakan simbol, acapkali simbol tersebut diulang-ulang. Disebutkan pengarang, lantas di dorongkan ke tengah-tengah perhatian pembaca. Namun, bisa juga simbol itu sesuatu yang dikandung di dalam keselauruhan cerita.
KESIMPULAN
Secara umum, sistem sastra dapat diterjemahkan menjadi segala unsur yang bertalian dengan sastra dan menunjang satu sama lain untuk keutuhan sastra itu sendiri. Adanya kesinambungan antara bahasa dan sastra dalam berkarya. Untuk menghasilkan sastra yang berkualitas didalam perkembangan sejarah sastra di Indonesia khususnya dan dunia sastra pada umumnya, disimpulkan bahwa seorang penulis tidak perlu mempelajari “teori sastra” terlebih dahulu sebelum dirinya memiliki produk sastra. Kebalikannya, pengarang yang sudah menghasilkan karya, lambat laun, dirinya akan menguasai apakah “ilmu sastra” itu. Lantas, pengarang tersebut akan mengidentifikasikan karya-karyanya dengan teori yang ada. Dari sinilah, tanpa sengaja, pengarang tersebut dapat belajar tentang “teori sastra” dan secara perlahan akan menguasai “bagaimana sistem sastra secara keseluruhan itu”.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya (hal.87-92). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Joko Rachmat. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2000. Buku Praktis Bahasa Indonesia: 2. Jakarta: Pusat Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar